jubir86 | PURWAKARTA
Aksi Wakil Bupati Purwakarta yang terekam memarahi pihak sekolah di Kecamatan Sukasari kini tak hanya menuai kritik etis, tetapi juga sorotan hukum. Aktivis muda dari kelompok riset Analitika Purwakarta, Risky Widya Tama, menyebut tindakan tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dalam video yang kini beredar luas di media sosial, tampak Wakil Bupati—yang dikenal publik sebagai “Abang Ijo”—menaikkan nada bicara saat menanggapi dugaan penyalahgunaan dana Program Indonesia Pintar (PIP). Video tersebut direkam dan kemudian dipublikasikan, menampilkan wajah dan ekspresi guru atau kepala sekolah yang dimarahi.
“Ini bukan sekadar persoalan etika atau gaya komunikasi pejabat. Kita bicara soal potensi pelanggaran hukum yang serius karena menyangkut data pribadi seseorang,” kata Risky kepada awak media, Sabtu (14/6).
Risky menjelaskan bahwa dalam UU No. 27 Tahun 2022, data pribadi meliputi informasi yang mengidentifikasi seseorang secara langsung atau tidak langsung, termasuk wajah, suara, dan ekspresi dalam rekaman video.
“Jika video itu direkam dan disebarkan tanpa persetujuan dari individu yang terekam, maka hal tersebut bisa dikategorikan sebagai pengungkapan data pribadi tanpa hak, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU PDP,” ujarnya.
Selain UU PDP, Risky menilai tindakan ini juga berpotensi melanggar Pasal 32 UU ITE, yang melarang setiap orang memindahkan atau mentransmisikan dokumen elektronik tanpa hak. Jika unsur kesengajaan dan penyebaran terbukti, Pasal 48 UU ITE menyebutkan ancaman pidana hingga 9 tahun penjara atau denda hingga Rp3 miliar.
“Banyak yang lupa, bahwa penyebaran video digital tanpa hak juga termasuk dokumen elektronik. Apalagi kalau isinya merugikan martabat pihak lain,” ujar Risky.
Menurut Risky, tindakan semacam ini jika terus dibiarkan akan membentuk budaya kepemimpinan yang lebih mengutamakan tontonan daripada penyelesaian sistemik. Ia menilai ada kecenderungan penggunaan kamera sebagai alat pencitraan, bukan transparansi.
“Kalau benar-benar ingin membenahi sistem, kenapa tidak lewat audit resmi? Kenapa harus direkam dan dipublikasikan? Kita harus curiga jika kemarahan pejabat lebih sering terekam ketimbang hasil kerjanya,” tegasnya.
Risky mendorong agar Komisi Informasi, Komnas HAM, dan lembaga penegak hukum lainnya segera meninjau ulang praktik seperti ini. Ia juga mengajak masyarakat sipil untuk tidak membiarkan budaya public shaming oleh pejabat publik menjadi hal biasa.
“Kita tidak sedang membela yang salah. Tapi kita menolak cara penyelesaian masalah yang salah. Kalau ini dibiarkan, hukum akan terus tunduk pada kamera, bukan pada keadilan,” tutup Risky.
#fyp
jubir86.my.id
(Dwi)