jubir86 | PURWAKARTA
Kebijakan jam malam pelajar yang diberlakukan di Jawa Barat melalui Surat Edaran Gubernur No. 51/Pa.03/Disdik dan ditindaklanjuti oleh Surat Edaran Bupati Purwakarta No. 100.3.4/916-Disdik/2025 mencerminkan satu hal: kegagalan negara dalam memahami peran pendidikan sebagai proses pemberdayaan, bukan pengawasan. Dengan dalih membentuk generasi “Panca Waluya Jawa Barat Istimewa,” pemerintah justru melanggengkan pendekatan yang represif, legalitasnya lemah, dan secara etis bermasalah.
Mari kita mulai dari yang paling mendasar: surat edaran bukan produk hukum yang sah untuk membatasi hak-hak dasar warga negara. Dalam sistem hukum Indonesia, surat edaran hanyalah instrumen administratif, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat masyarakat luas. Ini bukan asumsi, tapi prinsip yang ditegaskan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan serta Permendagri No. 120 Tahun 2018. Ketika kebebasan anak untuk berada di ruang publik dibatasi hanya berdasarkan surat edaran, maka yang terjadi bukan kebijakan publik, melainkan penyalahgunaan kewenangan administratif.
Lebih mengkhawatirkan lagi adalah cara kebijakan ini mengatasnamakan perlindungan anak, padahal justru melanggar prinsip-prinsip dasar dalam Undang-Undang Perlindungan Anak itu sendiri. Tak satu pun pasal dalam UU No. 35 Tahun 2014 yang memberi wewenang kepada kepala daerah untuk melarang anak keluar rumah di malam hari. Sebaliknya, UU itu menekankan pendekatan yang edukatif, rehabilitatif, dan berperspektif hak anak. Sayangnya, pendekatan semacam ini tampaknya tidak cukup “populer” di mata pengambil kebijakan yang lebih tertarik pada langkah-langkah simbolik dan populistik.
Tidak hanya lemah secara hukum, kebijakan ini juga cacat secara konstitusional. UUD 1945 dengan tegas menjamin hak setiap warga negara untuk bergerak, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Hak-hak ini hanya bisa dibatasi oleh hukum, bukan oleh edaran. Maka dari itu, pelarangan anak berada di ruang publik tanpa dasar hukum formal bukan sekadar pelanggaran prosedural, tetapi pengingkaran terhadap prinsip negara hukum itu sendiri. Ironisnya, semua ini dibungkus dalam narasi luhur tentang pembangunan karakter dan ketahanan moral generasi muda.
Yang lebih problematik, kebijakan ini turut melibatkan aparat keamanan—Polisi hingga Babinsa—untuk mengawasi dan menertibkan pelajar di malam hari. Keterlibatan aparat bersenjata dalam urusan sipil yang berbasis surat edaran jelas mengaburkan batas antara fungsi keamanan dan perlindungan warga. Ini adalah gejala militerisasi ruang sipil yang seharusnya sudah kita tinggalkan sejak era Reformasi. Lebih dari sekadar kekeliruan prosedural, ini adalah pengingkaran terhadap prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.
Tak sulit membayangkan dampaknya. Anak-anak dari keluarga miskin yang tinggal di lingkungan terbuka, anak-anak pekerja malam, hingga mereka yang memang tidak punya ruang aman selain jalanan, akan menjadi sasaran empuk stigmatisasi. Yang dimaksud “mendidik” dalam konteks ini ternyata adalah membatasi, menertibkan, bahkan mengintimidasi. Sebuah pendekatan yang justru memperlebar jurang sosial dan memperkuat eksklusi terhadap kelompok rentan.
Dalam kondisi seperti ini, kebijakan jam malam pelajar bukan hanya gagal menjawab persoalan pendidikan dan perlindungan anak, tetapi menciptakan persoalan baru: pelanggaran hak, penyalahgunaan kewenangan, dan pelemahan kepercayaan publik. Ini bukan hanya masalah teknis birokrasi. Ini adalah soal bagaimana negara memperlakukan anak-anaknya: sebagai subjek pembangunan atau sekadar objek kontrol.
Analitika Purwakarta menyerukan agar kebijakan ini segera dicabut dan dievaluasi secara menyeluruh. Jika memang terdapat kebutuhan untuk mengatur ruang publik bagi anak-anak, maka ia harus dilakukan melalui peraturan formal—bukan surat edaran—dan disusun secara partisipatif, berbasis data, dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip perlindungan anak. Yang dibutuhkan bukan larangan, tapi ruang aman. Bukan pengawasan, tapi keterlibatan. Bukan intimidasi, tapi kepercayaan.
Mendidik anak bukan tugas negara saja, tapi negara harus menjadi teladan. Dan teladan itu tidak dibangun dari pendekatan represif, melainkan dari komitmen terhadap keadilan, empati, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kita bisa memulai dari sini: akui bahwa kebijakan ini keliru. Lalu perbaiki, sebelum terlalu terlambat.
Sumber : Agus Sanusi, M.Psi
(Seorang penulis dan pengamat sosial yang fokus pada isu-isu kebijakan publik, perlindungan anak, dan keadilan sosial. Ia juga merupakan Koordinator Kajian Kebijakan Publik di Analitika Purwakarta.)
(Red)